Keluarga Iskandar Zakaria Protes Isi Buku Mengenal Aksara Incung
kerinciilok.com - Jumat, 11 April 2014
PRESS RELEASE
KELUARGA ISKANDAR ZAKARIA
KELUARGA ISKANDAR ZAKARIA
Tentang Buku Mengenal Aksara Incung yang disusunoleh Budhi Vrihaspathi Jauhari dkk
Hari Minggu, 23 Maret 2014, ketika menyambangi kedua orangtua di kediaman beliau, Mama mengatakan ada tamu dari dinas Pariwisata Kota Sungai Penuh yang membawa 2 buku. Salah satu buku itu diterbitkan oleh dinas Pariwisata Kab. Kerinci, sedangkan yang lainnya dari Lembaga Bina Potensia Aditya Mahatva Yodha Kota Sungai Penuh dan Kab. Kerinci, Propinsi Jambi. Tamu dari Dinas Pariwisata tersebut sangat bingung dengan buku terbitan kedua yang berjudul Mengenal Aksara Incung Suku Kerinci Daerah Jambi dengan tim Penyusun Budhi Vrihaspathi Jauhari, Drs. Joni Mardizal, M.M, Zulwachdi, M.Si dan H. Yoserizal, S.Sos, M.M.
Saya pun tertarik untuk mengamati buku yang dikatakan oleh Mama sebagai buku yang aneh tersebut. Kejanggalan pertama yang saya temui
ketika itu adalah di halaman 38 alinea ke empat yang menuliskan pernyataan dari seorang Budayawan Alam Kerinci, Depati H. Alimin tentang transliterasi yang dilakukan (oleh beliau atau....?), karena transliterasi (alih aksara) tersebut dilakukan oleh Bapak Iskandar Zakaria (bisa dikonfirmasi dengan Bapak Bakhtiar Anif yang menyimpan naskah tersebut di Desa Senimpik, Siulak, Kab. Kerinci).
Saya semakin tertarik untuk menelaah buku ini, semakin saya baca, semakin nampak kejanggalan pada buku yang diedit oleh 16 editor serta diawasi oleh 25 orang kurator (menurut wikipedia kurator berarti pengurus atau pengawas institusi warisan budaya atau seni, misalnya museum, pameran seni, galeri foto, dan perpustakaan. Kurator bertugas untuk memilih dan mengurus objek museum atau karya seni yang dipamerkan). Kembali saya baca dari awal untuk bisa lebih memahami apa yang membuat tamu tadi bingung dengan isi yang tertulis di buku tersebut. Akhirnya saya paham apa yang menjadi penyebab kebingungan tersebut. Berikut ini dapat dilihat kalau buku ini hanya mengambil karya Bapak Iskandar Zakaria (makalah seminar Aksara Kuno Kerinci di Jambi pada tanggal 29 Februari 1992 yang dalam buku ini dikatakan karya Prof. Dr. H. Amir Hakim Usman (almarhum) yang ternyata adalah paman dari salah seorang penyusun buku ini yaitu H. Yoserizal, S.Sos, M.M.
Diawali pada BAB III Sejarah Perkembangan Aksara Kerinci tentang pernyataan Prof. Dr. H Amir Hakim Usman tentang pertama kali beliau melihat
aksara Kerinci dari Pepatah di tahun 1968 (hal. 19). Bandingkan dengan makalah Iskandar Zakaria dengan judul Nasionalisasi Aksara Kerinci pada Bagian II Temuan dan Pengembangan (hal. 1). Begitu pula guru tempat beliau belajar aksara adalah orang yang sama.
Pada halaman 20 yang diulang kembali di halaman 41, bandingkan dengan halaman 2 makalah Iskandar Zakaria dalam seminar yang sama ( Pembicara dalam seminar itu ada 3 orang yakni Dra. Astuti Hendrato-Darmosugito dari Pusat Perpustakaan Nasional, H. Idris Jakfar, SH dari Jambi dan Iskandar Zakaria dari Kasi Kebudayaan Dikbud Kab. Kerinci artinya tidak ada Prof. Dr. H. Amir Hakim Usman sebagai pemakalah dalam seminar tersebut).
Di halaman 34 dikatakan raja Raja Sriwijaya adalah Adityawaman, setahu saya Adityawarman adalah raja Kerajaan Pagaruyung di Damasraya (Sumatera Barat).
Pada BAB IV halaman 45 – 48 tentang ketentuan penulisan abjad aksara Incung dapat pula dilihat pada makalah seminar bagian III dengan judul Abjad di hal 2 – 5 (perhatikan contoh – contoh yang juga sama).
Pada bagian Pengembangan Abjad di halaman 48 – 49 dapat pula diperbandingkan dengan usulan yang disampaikan oleh Bapak Iskandar Zakaria pada bagian IV dengan judul Pengembangan Abjad halaman 5 – 6. Perhatikan penulisan yang salah pada makalah Bapak Iskandar Zakaria pun dicontek habis dalam buku ini. Ketika saya baca aksara Kerinci pada usulan penggunaan tanda baca titik, ada kata yang hilang pada penulisan aksara incung tersebut. Dalam transliterasinya ditulis “ saya sudah makan. Perutmu harus diisi pula.” Kata makan dalam aksara Kerinci tidak ada di makalah tersebut. Para plagiator pun menconteknya tanpa merevisi. Para editor (entah tahu atau tidak aksara incung) membiarkan pula kesalahan ini. Saya minta Pak Iskandar Zakaria untuk membacanya guna memperbandingkan bacaan saya, beliau membacanya “Saya sudah. Perutmu harus diisi pula”.
Kesalahan paling fatal adalah di bagian berikutnya halaman 50 – 51 yang berjudul “Abjad Aksara Incung Suku Kerinci Yang Telah Disempurnakan” (Sumber makalah Prof. Dr. H. Amir Hakim Usman). Sebenarnya di makalah seminar Bapak Iskandar Zakaria hanya merupakan usulan beliau kepada forum untuk dijadikan aksara Kerinci sebanyak 34 aksara (lihat makalah seminar hal 6 – 7). Namun dalam hasil rumusan kerabat perumus hal ini tidak dapat disepakati. Keputusan Kerabat Perumus aksara Kerinci tetap berjumlah 28 aksara sesuai dengan yang telah ada (lihat hasil rumusan). Saya mengatakan hal ini sangat fatal akibatnya karena bila ada orang yang mempergunakan aksara yang diusulkan ini sebagai aksara Kerinci yang diakui sementar hasil rumusan yang telah ditetapkan berbeda dari aksara yang disempurnakan tadi.
Dalam buku dikatakan bahwa para ahli berpendapat bahwa aksara Kerinci diawali dengan huruf Ka – ga – nga, ini sebenarnya adalah hasil rumusan dalam seminar ini juga. Artinya sebelum itu tidak ada ketetapan yang demikian.
Saya pun tertarik untuk mengamati buku yang dikatakan oleh Mama sebagai buku yang aneh tersebut. Kejanggalan pertama yang saya temui
ketika itu adalah di halaman 38 alinea ke empat yang menuliskan pernyataan dari seorang Budayawan Alam Kerinci, Depati H. Alimin tentang transliterasi yang dilakukan (oleh beliau atau....?), karena transliterasi (alih aksara) tersebut dilakukan oleh Bapak Iskandar Zakaria (bisa dikonfirmasi dengan Bapak Bakhtiar Anif yang menyimpan naskah tersebut di Desa Senimpik, Siulak, Kab. Kerinci).
Saya semakin tertarik untuk menelaah buku ini, semakin saya baca, semakin nampak kejanggalan pada buku yang diedit oleh 16 editor serta diawasi oleh 25 orang kurator (menurut wikipedia kurator berarti pengurus atau pengawas institusi warisan budaya atau seni, misalnya museum, pameran seni, galeri foto, dan perpustakaan. Kurator bertugas untuk memilih dan mengurus objek museum atau karya seni yang dipamerkan). Kembali saya baca dari awal untuk bisa lebih memahami apa yang membuat tamu tadi bingung dengan isi yang tertulis di buku tersebut. Akhirnya saya paham apa yang menjadi penyebab kebingungan tersebut. Berikut ini dapat dilihat kalau buku ini hanya mengambil karya Bapak Iskandar Zakaria (makalah seminar Aksara Kuno Kerinci di Jambi pada tanggal 29 Februari 1992 yang dalam buku ini dikatakan karya Prof. Dr. H. Amir Hakim Usman (almarhum) yang ternyata adalah paman dari salah seorang penyusun buku ini yaitu H. Yoserizal, S.Sos, M.M.
Diawali pada BAB III Sejarah Perkembangan Aksara Kerinci tentang pernyataan Prof. Dr. H Amir Hakim Usman tentang pertama kali beliau melihat
aksara Kerinci dari Pepatah di tahun 1968 (hal. 19). Bandingkan dengan makalah Iskandar Zakaria dengan judul Nasionalisasi Aksara Kerinci pada Bagian II Temuan dan Pengembangan (hal. 1). Begitu pula guru tempat beliau belajar aksara adalah orang yang sama.
Pada halaman 20 yang diulang kembali di halaman 41, bandingkan dengan halaman 2 makalah Iskandar Zakaria dalam seminar yang sama ( Pembicara dalam seminar itu ada 3 orang yakni Dra. Astuti Hendrato-Darmosugito dari Pusat Perpustakaan Nasional, H. Idris Jakfar, SH dari Jambi dan Iskandar Zakaria dari Kasi Kebudayaan Dikbud Kab. Kerinci artinya tidak ada Prof. Dr. H. Amir Hakim Usman sebagai pemakalah dalam seminar tersebut).
Di halaman 34 dikatakan raja Raja Sriwijaya adalah Adityawaman, setahu saya Adityawarman adalah raja Kerajaan Pagaruyung di Damasraya (Sumatera Barat).
Pada BAB IV halaman 45 – 48 tentang ketentuan penulisan abjad aksara Incung dapat pula dilihat pada makalah seminar bagian III dengan judul Abjad di hal 2 – 5 (perhatikan contoh – contoh yang juga sama).
Pada bagian Pengembangan Abjad di halaman 48 – 49 dapat pula diperbandingkan dengan usulan yang disampaikan oleh Bapak Iskandar Zakaria pada bagian IV dengan judul Pengembangan Abjad halaman 5 – 6. Perhatikan penulisan yang salah pada makalah Bapak Iskandar Zakaria pun dicontek habis dalam buku ini. Ketika saya baca aksara Kerinci pada usulan penggunaan tanda baca titik, ada kata yang hilang pada penulisan aksara incung tersebut. Dalam transliterasinya ditulis “ saya sudah makan. Perutmu harus diisi pula.” Kata makan dalam aksara Kerinci tidak ada di makalah tersebut. Para plagiator pun menconteknya tanpa merevisi. Para editor (entah tahu atau tidak aksara incung) membiarkan pula kesalahan ini. Saya minta Pak Iskandar Zakaria untuk membacanya guna memperbandingkan bacaan saya, beliau membacanya “Saya sudah. Perutmu harus diisi pula”.
Kesalahan paling fatal adalah di bagian berikutnya halaman 50 – 51 yang berjudul “Abjad Aksara Incung Suku Kerinci Yang Telah Disempurnakan” (Sumber makalah Prof. Dr. H. Amir Hakim Usman). Sebenarnya di makalah seminar Bapak Iskandar Zakaria hanya merupakan usulan beliau kepada forum untuk dijadikan aksara Kerinci sebanyak 34 aksara (lihat makalah seminar hal 6 – 7). Namun dalam hasil rumusan kerabat perumus hal ini tidak dapat disepakati. Keputusan Kerabat Perumus aksara Kerinci tetap berjumlah 28 aksara sesuai dengan yang telah ada (lihat hasil rumusan). Saya mengatakan hal ini sangat fatal akibatnya karena bila ada orang yang mempergunakan aksara yang diusulkan ini sebagai aksara Kerinci yang diakui sementar hasil rumusan yang telah ditetapkan berbeda dari aksara yang disempurnakan tadi.
Dalam buku dikatakan bahwa para ahli berpendapat bahwa aksara Kerinci diawali dengan huruf Ka – ga – nga, ini sebenarnya adalah hasil rumusan dalam seminar ini juga. Artinya sebelum itu tidak ada ketetapan yang demikian.
Selanjutnya, di bagian Kerabat Perumus Hasil Seminar dalam buku tadi dicantumkan sebanyak 16 orang, tapi pada hasil seminar tersebut sebenarnya ditandatangani oleh 17 orang. Kerabat perumus yang nomor satu tidak ada namanya, tapi ada tanda tangannya seperti yang tercantum berikut.
(Dalam Kerabat perumus pun tidak dicantumkan nama Prof. Dr. Amir Hakim Usman karena memang beliau tidak pernah mengikuti seminar tersebut apalagi sebagai pembicara).
Mengakhiri tulisan ini, kami dari pihak keluarga Bapak Iskandar Zakaria meminta kepada pihak penerbit dan tim penulis untuk melakukan revisi terhadap isi buku Mengenal Aksara Incung yang sebenarnya merupakan tulisan karya Bapak Iskandar Zakaria dan bukan karya Bapak Prof. Dr. H. Amir Hakim Usman.
Atas Nama Keluarga Iskandar Zakaria
Ttd.
Antri Mariza Qadarsih