WIB
Follow Us: Facebook twitter

Ritual Mistis Tari Maduamo Dari Kerinci

kerinciilok.com - Sabtu, 10 Mei 2014

Salah seorang penari dengan bertelanjang badan berguling diatas pecahan beling. Ini merupakan bagian ritual tarian kebal Maduamo asli warisan masyarakat purba Kerinci yang dipentaskan di Kantor Bahasa Jambi.
Kerinciilok.com, JAMBI - Tak perlu ke Banten atau Jawa kalau cuma pengin liat aksi kebal-kebalan. Di Jambi juga punya atraksi kebal beling dan keramik hingga senjata tajam. Adalah Tari Mauamo, bukan sembarang tarian, atraksi kebal sang penari menjadi bagian menegangkan pada tarian ini. Hebatnya, tarian ini merupakan warisan masyarakat purba asli Suku Kerinci. 

Tarian Maduamo ini menjadi salah satu aksi yang dipentaskan pada gelaran seni budaya Melayu Jambi oleh Kantor Bahasa Jambi selama tiga hari 7-9 Mei ini.

Dari informasi yang diperoleh harian ini, Tari Maduamo merupakan salah satu bagian dari tari Asyeik yaitu sebuah tarian purba yang telah tumbuh sejak nenek moyang Suku Kerinci masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.


Tarian ini merupakan gabungan tradisi megalitik yang masih menganut kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang masyarakat masa prasejarah.

Lampu yang samar-samar di halaman kantor Bahasa Jambi justru menambah semaraknya tarian ini. Sejumlah pengunjung bahkan terlihat antusias menunggu pentasan Tari Maduamo ini.


Sebelum memperagakan tarian ini, penari harus melakukan upacara terlebih dahulu atau disebut Nyaho yang berasal dari kata Seru yang berarti memanggil roh-roh nenek moyang. Tujuannya adalah untuk menyukseskan sejumlah atraksi berbahaya pada tarian tersebut.

 Sorak penonton mulai bergemuruh menjadikan tarian ini semakin menegangkan. Beberapa penontoton perempuan bahkan ada yang menjerit ketakutan melihat aksi enam penari yang bukannya kesakitan malah tampak asyik meliuk-liuk di atas benda tajam seperti pecahan kaca beling dan keramik.

Enam penari malam itu diketahui berasal dari Kota Sungaipenuh. Keenam penari itu ternyata sudah tidak muda lagi, diantaranya adalah Iskandar Zakaria (72), Hilman (50), Antri meriza kadarsih (43), Nantidiah (60) dan Bachtiar Anif (65).

Tak hanya berjingkrak mengikuti irama iringan musik, enam penari tua ini bahkan sampai berguling diatas pecahan kaca dan keramik. Semakin lama, kulit penari ini tampak makin kebal. Buktinya, saat ditusuk dengan benda tajam, tak tampak luka di badan sang penari. 

Usai mentas, salah seorang penari bernama Hilman menuturkan, ritual Asyek pada masa lampau berlansung selama satu minggu. Berbagai persiapan dilakukan oleh orang pintar. Di Kerinci, orang pintar ini disebut Bilan Salih.

Upacara selama satu minggu itu sendiri disebut Marcok . Pada tingkatan akhir upacara ini roh-roh nenek moyang akan memasuki sukma pengunjung atau orang yang berobat. Orang yang dimasuki roh nenek moyang akan menjadi ringan. Saking ringannya, bahkan hingga dapat memanjat batang bambu, menari diatas pecahan kaca dab kebal senjata tajam.

Menurut Hilman, selama beberapa kali mentas, baik dirinya maupun penari lain belum pernah sekali pun gagal. “Kita bukan sendiri, roh nenek moyang bersama kita. Sehingga apapun itu benda yang tajam kita tidak merasa takut dan tidak pernah terluka,” ujarnya.
Ia menyatakan, untuk mempelajari tarian ini tidaklah sulit. Bahkan bagi sebagian warga Kerinci tidak sedikit yang bisa dengan sendirinya.

“Tapi di bagian kekebalan, kalau menari kita tidak perlu harus ada teori. Karena tanpa kita sadari tubuh kita akan mengikuti iringan kendang atau rebana tadi,” tuturnya.
Iskandar Zakaria, yang merupakan penari tertua mengatakan, dirinya belajar ilmu tarian Manduamo sejak tahun 1972 dan saat ini tidak sedikit murid yang belajar kepadanya.
“Murid saya sudah tidak terhitung lagi, sudah banyak termasuk peserta yang saat ini. Nama sanggar tari saya dalah Sanggar Ilok Rupo,” katanya.
Iskandar pun mulai menuturkan berbagai pengalamannya mementaskan tarian kebal Manduamo. Tak hanya lalulalang di Jambi, Manduamo bahkan sudah dipentaskannya hingga Bali, Jakarta, Palembang, Padang serta beberapa kota lain.

Lebih lanjut ia mengatakan, Manduamo merupakan tarian primitif yang tumbuh di tengah masyarakat purba yang sangat menghormati dan memuja roh-roh leluhur.
Seiring perkembangan zaman, tarian ini kemudian berasimilasi dengan kebudayaan Hindu yang mempercayai dewa-dewa. Sehingga mantra pemujaannya selain ditujukan kepada roh nenek moyang juga ditujukan kepada dewa-dewa.

Selanjutnya, memasuki periode Islam di Kerinci, oleh salah satu tokoh pesiar Islam di daerah ini yakni nenek Siak Lengih mantra tari Manduamo kemudian diubah dengan kalimat tauhid seperti nama-nama nabi, sahabat Rasul, kota Makkah dan Madinah hingga arah upacara yang menghadap kiblat.
Selain sebagai hiburan, tarian Manduamo ini bisa menjadi ritual pengobatan atau penyembuhan. Tak hanya itu, tarian ini juga menjadi media untuk meminta keselamatan, menghindari malapetaka, rezeki, meminta hujan, hingga minta keturunan.

Meski sudah berubah dan banyak dipenuhi kebudayaan Islam, akan tetapi pengaruh sisa kebudayaan Hindu dan Budha masih tampak terasa. Salah satunya adalah pada pembakaran kemenyan untuk berdoa.


sumber : harianjambi.com

Berikan Komentar

Copyright © 2013 All rights reserved - Designed by Kadral hadi Kembali Ke Atas