Ritual Mistis Tari Maduamo Dari Kerinci
kerinciilok.com - Sabtu, 10 Mei 2014
Kerinciilok.com, JAMBI - Tak perlu ke Banten atau Jawa kalau cuma
pengin liat aksi kebal-kebalan. Di Jambi juga punya atraksi kebal beling
dan keramik hingga senjata tajam. Adalah Tari Mauamo, bukan sembarang
tarian, atraksi kebal sang penari menjadi bagian menegangkan pada tarian
ini. Hebatnya, tarian ini merupakan warisan masyarakat purba asli Suku
Kerinci.
Tarian Maduamo ini menjadi salah satu aksi yang dipentaskan pada
gelaran seni budaya Melayu Jambi oleh Kantor Bahasa Jambi selama tiga
hari 7-9 Mei ini.
Dari informasi yang diperoleh harian ini, Tari Maduamo merupakan
salah satu bagian dari tari Asyeik yaitu sebuah tarian purba yang telah
tumbuh sejak nenek moyang Suku Kerinci masih menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme.
Tarian ini merupakan gabungan tradisi megalitik yang masih menganut
kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang masyarakat masa prasejarah.
Lampu yang samar-samar di halaman kantor Bahasa Jambi justru menambah
semaraknya tarian ini. Sejumlah pengunjung bahkan terlihat antusias
menunggu pentasan Tari Maduamo ini.
Sebelum memperagakan tarian ini, penari harus melakukan upacara
terlebih dahulu atau disebut Nyaho yang berasal dari kata Seru yang
berarti memanggil roh-roh nenek moyang. Tujuannya adalah untuk
menyukseskan sejumlah atraksi berbahaya pada tarian tersebut.
Sorak penonton mulai bergemuruh menjadikan tarian ini semakin
menegangkan. Beberapa penontoton perempuan bahkan ada yang menjerit
ketakutan melihat aksi enam penari yang bukannya kesakitan malah tampak
asyik meliuk-liuk di atas benda tajam seperti pecahan kaca beling dan
keramik.
Enam penari malam itu diketahui berasal dari Kota Sungaipenuh. Keenam
penari itu ternyata sudah tidak muda lagi, diantaranya adalah Iskandar
Zakaria (72), Hilman (50), Antri meriza kadarsih (43), Nantidiah (60)
dan Bachtiar Anif (65).
Tak hanya berjingkrak mengikuti irama iringan musik, enam penari tua
ini bahkan sampai berguling diatas pecahan kaca dan keramik. Semakin
lama, kulit penari ini tampak makin kebal. Buktinya, saat ditusuk dengan
benda tajam, tak tampak luka di badan sang penari.
Usai
mentas, salah seorang penari bernama Hilman menuturkan, ritual Asyek
pada masa lampau berlansung selama satu minggu. Berbagai persiapan
dilakukan oleh orang pintar. Di Kerinci, orang pintar ini disebut Bilan
Salih.
Upacara selama satu minggu itu sendiri disebut Marcok . Pada
tingkatan akhir upacara ini roh-roh nenek moyang akan memasuki sukma
pengunjung atau orang yang berobat. Orang yang dimasuki roh nenek moyang
akan menjadi ringan. Saking ringannya, bahkan hingga dapat memanjat
batang bambu, menari diatas pecahan kaca dab kebal senjata tajam.
Menurut Hilman, selama beberapa kali mentas, baik dirinya maupun
penari lain belum pernah sekali pun gagal. “Kita bukan sendiri, roh
nenek moyang bersama kita. Sehingga apapun itu benda yang tajam kita
tidak merasa takut dan tidak pernah terluka,” ujarnya.
Ia menyatakan, untuk mempelajari tarian ini tidaklah sulit. Bahkan
bagi sebagian warga Kerinci tidak sedikit yang bisa dengan sendirinya.
“Tapi di bagian kekebalan, kalau menari kita tidak perlu harus ada
teori. Karena tanpa kita sadari tubuh kita akan mengikuti iringan
kendang atau rebana tadi,” tuturnya.
Iskandar Zakaria, yang merupakan penari tertua mengatakan, dirinya
belajar ilmu tarian Manduamo sejak tahun 1972 dan saat ini tidak sedikit
murid yang belajar kepadanya.
“Murid saya sudah tidak terhitung lagi, sudah banyak termasuk peserta
yang saat ini. Nama sanggar tari saya dalah Sanggar Ilok Rupo,”
katanya.
Iskandar pun mulai menuturkan berbagai pengalamannya mementaskan
tarian kebal Manduamo. Tak hanya lalulalang di Jambi, Manduamo bahkan
sudah dipentaskannya hingga Bali, Jakarta, Palembang, Padang serta
beberapa kota lain.
Lebih lanjut ia mengatakan, Manduamo merupakan tarian primitif yang
tumbuh di tengah masyarakat purba yang sangat menghormati dan memuja
roh-roh leluhur.
Seiring perkembangan zaman, tarian ini kemudian berasimilasi dengan
kebudayaan Hindu yang mempercayai dewa-dewa. Sehingga mantra pemujaannya
selain ditujukan kepada roh nenek moyang juga ditujukan kepada
dewa-dewa.
Selanjutnya, memasuki periode Islam di Kerinci, oleh salah satu tokoh
pesiar Islam di daerah ini yakni nenek Siak Lengih mantra tari Manduamo
kemudian diubah dengan kalimat tauhid seperti nama-nama nabi, sahabat
Rasul, kota Makkah dan Madinah hingga arah upacara yang menghadap
kiblat.
Selain sebagai hiburan, tarian Manduamo ini bisa menjadi ritual
pengobatan atau penyembuhan. Tak hanya itu, tarian ini juga menjadi
media untuk meminta keselamatan, menghindari malapetaka, rezeki, meminta
hujan, hingga minta keturunan.
Meski sudah berubah dan banyak dipenuhi kebudayaan Islam, akan tetapi
pengaruh sisa kebudayaan Hindu dan Budha masih tampak terasa. Salah
satunya adalah pada pembakaran kemenyan untuk berdoa.
sumber : harianjambi.com